Napak
Tilas Kotagede, Kerajaan Mataram Islam
Sebagai
Cikal Bakal Kasultanan Yogyakarta.
Yoga Arif
Kurniawan
Hubungan
Internasional Universitas Darussalam Gontor
drummermagnetic88@gmail.com
Bendera Kerajaan Mataram Islam |
Abstrak
Kraton Kotagede merupakan bagian
Kerajaan Mataram Islam yang memiliki sejarah panjang dan pengaruh hingga
berabad-abad kemudian. Bahkan keberadaannya masih melekat dalam kehidupan
masyarakat Jogja masa kini. Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan
yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan Islam di Jawa. Munculnya
Kasultanan Yogyakarta yang masih ada hingga saat ini merupakan kelanjutan
Kerajaan Mataram Islam yang terpecah belah akibat perang saudara yang
disebabkan adu domba VOC. Tindakannya yang selalu mencampuri urusan dalam
kerajaan merupakan usaha VOC untuk melenyapkan Mataram yang dianggap sebagai
penghalangnya dalam menguasai Jawa.
Pendahuluan
Kotagede, adalah suatu kecamatan
yang terletak di pinggiran Kota Yogyakarta yang berbatasan langsung dengan
Kabupaten Bantul. Pada zaman dahulu, Kotagede merupakan Ibu Kota Kerajaan
Mataram Islam yang memiliki sejarah panjang dan pengaruh yang besar dalam
sejarah perkembangan Islam di Jawa.
Pada abad ke 14, Pulau Jawa berada
di bawah kepempinan kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan
Hadiwijaya, yang memimpin Pajang pada saat itu memberikan hadiah berupa Alas
(hutan) Mentaok, yang saat ini dikenal dengan Kotagede dengan area yangcukup
luas kepada Ki Ageng Pemanahan. Hadiah ini diberikan setelah beliau berhasil
menaklukkan musuh kerajaan. Selanjutnya, Ki Ageng Pemanahan dengan keluarga dan
pengikutnya berpindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya adalah
pusat Kerajaan Mataram Hindu pada masa - masa sebelumnya. Beliau membangun desa
kecil di hutan tersebut. (Kotagede, Warisan Sejarah
Kerajaan Mataram Kuno, 2012) .
Sebagai salah satu daerah terpenting
di Yogyakarta, Kotagede merupakan kawasan bersejarah yang merupakan The Old
Capital City, yang menyimpan sejarah mengenai lahirnya Mataram Islam
sebagai kerajaan yang pernah berkuasa di tanah Jawa. (Kotagede
Yogyakarta Kota Sejarah, 2016) .
Asal
Usul Berdirinya Kerajaan Mataram Islam
Kemunculan Kerajaan Mataram Islam
berawal dari tanah perdikan di Mentaok (Mataram) yang diberikan kepada Ki Ageng
Pamanahan oleh Sultan Hadiwijoyo, Sultan Pajang. Tanah perdikan atau sima
merupakan sebidang tanah yang diberikan kepada orang yang berjasa kepada raja
yang berkuasa. Ketika itu Ki Ageng Pamanahan berhasil menumpas Arya Penangsang,
yang sebelumnya membunuh Sunan Prawoto, penguasa terakhir Kerajaan Demak pada
1549. “Kerajaan Mataram Islam yang berlokasi di Kotagede muncul seiring
dengan runtuhnya Kerajaan Pajang,” tutur Johannes Marbun, budayawan dari
Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya).
Panembahan Senopati atau Danang
Sutawijaya, putra dari Ki Ageng Pamanahan, membangun peradaban di atas tanah
perdikan seluas 200 hektare pada 1577. Dikisahkan, ketika tiba di kawasan ini
yang dicari pertama oleh Ki Ageng Pemanahan adalah sebuah pohon beringin yang
telah ditanam oleh Sunan Kalijaga. Akhirnya pohon itu ditemukan dan didirikanlah
rumah di sebelah selatan beringin. Bangunan inilah yang kemudian dikembangkan
hingga akhirnya menjadi Kraton Kotagede. (Sabandar, 2015)
Pada tahun 1572, Ki Ageng Pemanahan
meninggal dunia. Ia digantkan oleh putranya, Danang Sutawijaya yang bergelar
Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Disamping bertekad melanjutkan mimpi ayahnya
untuk mengembangkan kerajaan Mataram Islam, ia pun bercita-cita membebaskan
diri dari kekuasaan kerajaan Pajang. Keadaan ini membuat hubungan antara
Mataram dengan Pajang memburuk yang pada akhirnya menimbulkan peperangan antara
Sutawijaya dan kerajaan Pajang. Dalam peprangan ini Pajang mengalami kekalahan.
Setelah penguasa pajak yakni Hadiwijaya meninggal (1587), Sutawijaya mengangkat
dirinya menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Senopati ing Alaga Sayidin
Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Sejak saat itu ia mulai membangun
kerajaannya dan menjadikan Kotagede sebagai pusat pemerintahan.
Masa
Kejayaan Kerajaan Mataram Islam
Puncak kejayaan Kerjaan Mataram
Islam berada di masa kepemimpinan Sultan Agung dengan kemajuan yang dicapai
dalam berbagai bidang antara lain:
A.
Bidang Politik
Kemajuan
di bidang politik yang dicapai Sultan Agung adalah menyatukan kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa dan menyerang Belanda di Batavia.
Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam
Sultan Agung berhasil menyatukan
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usahanya dimulai dengan menguasai Gresik,
Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang, Pasuruan, kemudian Surabaya. Salah satu
taktik yang dilakukan oleh Sultan Agung untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa adalah dengan ikatan perkawinan.
Usaha
menyingkirkan Belanda
Sultan Agung adalah raja yang sangat
benci terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti dengan dua kali menyerang
Belanda ke Batavia. Kedua penyerangan ini mengalami kegagalan, adapun
penyebabnya antara lain:
1.
Jarak
Kotagede/Mataram ke Batavia yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan
prajurit Mataram. Mereka harus menempuh perjalanan selama satu bulan dengan
berjalan kaki.
2.
Kekurangan
dukungan logistik menyebabkan pertahanan Mataram di Batavia melemah.
3.
Kalah
dalam persenjataan dengan Belanda yang jauh lebih modern.
4.
Pengkhianatan
seorang pribumi yang membocorkan rahasia penyerangan Mataram sehingga rencana
tersebut diketahui Belanda sebelumnya.
B.
Bidang Ekonomi.
Sebagai
kerajaan agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan
beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Di era kepemimpinan Sultan Agung,
Mataram mengadakan pemindahan penduduk atau transmigrasi dari daerah kering ke
daerah yang subur. Dengan usaha tersebut Mataram banyak mengekspor beras ke
Malaka. Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam yang dilakukan oleh Sultan Agung
tidak hanya menambah kekuatan politik, tetapi juga menambah kekuatan ekonomi.
Dengan luasnya wilayah pesisir yang dimiliki Mataram tidak semata-mata hanya
menggantungkan ekonomi dalam bidang agraris, tetapi juga dalam bidang maritim
dan perdagangan.
C.
Bidang Sosial dan Budaya.
1.
Timbulnya kebudayaan kejawen
Unsur ini merupakan akulturasi dan
asimilasi antara kebudayaan asli Jawa dengan Islam. Misalnya upacara grebeg
yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang. Kemudian, dilakukan do’a
dengan cara Islam. Sampai kini, di Yogyakarta upacara adat semacam ini kita
kenal dengan Grebeg Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya.
2.
Perhitungan Tarikh Jawa
Sultan Agung berhasil menyusun tarikh
Jawa. Sebelum tahun 1633 M, Mataram menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan
pada peredaran matahari (tarikh syamsiah). Sejak tahun1633 M (1555 Hindu),
tarikh Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan (tarikh
komariyah). Caranya, tahun1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan baru
berdasarkan tarikh komariyah. Tahun perhitungan Sultan Agung ini kemudian
dikenal sebagai “Tahun Jawa”.
3.
Berkembangnya kesusastraan Jawa
Pada zaman kejayaan Sultan Agung,
ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat, termasuk didalamnya kesusastraan
Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul Sastra Gending yang merupakan
kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan.
Pengaruh
Mataram mulai memudar setelah wafatnya Sultan Agung pada tahun 1645 M.
Selanjutnya, dimulailah masa-masa runtuhnya Kerajaan Mataram Islam yang tidak
lain adalah sebagai hasil politik adu domba yang dilakukan Belanda dalam
mencampuri urusan dalam kerajaan, sehingga kekuatan Mataram semakin melemah
karena terpecah belah. (Endrico, 2016)
Pecahnya
Mataram Islam menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta
Menilik
sejarah berdirinya Kesultanan Yogyakarta diawali dari perpecahan Kerajaan
Mataram Islam yang terpecah menjadi dua kekuasaan, Yogyakarta dan Surakarta.
Peristiwa ini terjadi saat kesultanan yang dipimpin oleh Amangkurat I yang
bergelar Sri Susuhan Amangkurat Agung. Ketika itu, Kraton Mataram yang berada
di Kotagede dipindahkan ke Plered (saat ini Pleret, Bantul) pada tahun 1647.
Dalam menjalankan politik
perdagangan, Amangkurat I menjalin hubungan dengan kongsi dagang Belanda atau
VOC. Padahal VOC merupakan musuh utama Sultan Agung, ayah Amangkurat I. Pada
tahun 1646 dia mengadakan perjanjian, antara lainVOC diizinkan membuka pos-pos
dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke
wilayah lain yang dikuasai VOC. Kedua belah pihak juga saling melakukan
pembebasan tawanan.
Semasa kepemimpinan Amangkurat I,
terjadi banyak pemberontakan skala kecil maupun besar. Kondisi pemerintahan
kurang stabil dan banyak yang tidak puas dengan kebijakan raja. Puncaknya
adalah ketika Raden Trunojoyo dari Madura mengadakan pemberotakan besar-besaran
untuk menggulingkan kekuasaan Amangkurat. Pemberontakan ini juga disokong oleh
putra mahkota Raden Mas Rahmat yang bergelar Pangeran Adipati Anom, dan
dukungan dari beberapa pihak lainnya.
Pemberontakan ini berhasil dan
Amangkurat I bersembunyi di Tegalarum. Babat Tanah Jawi menuturkan bahwa dalam
pelarian inilah Amangkurat I meninggal dunia. Kematiannya dipercepat dengan
racun Adipati Anom. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dia menunjuk putra
mahkota sebagai penerusnya dan berwasiat untuk menumpas Trunojoyo.
Sesuai wasiat ayahnya, Adipati Anom
bekerja sama dengan VOC untuk menumpas Trunojoyo. Dia menandatangani Perjanjian
Jepara tahun 1677 dengan VOC, yang berisi VOC akan membantu Adipati Anom
melawan Trunojoyo. Sebagai gantinya, kongsi dagang tersebut berhak memonopoli
perdagangan di pantai utara Jawa. Kepatuhan Amangkurat II pada VOC menyebabkan
ketidak puasan kalangan istana, sehingga pemberontakan terus menerus terjadi.
Pengganti Amangkurat II, Sri Susuhan
Amangkurat Mas yang bergelar Amangkurat III dikenal sebagai penentang VOC.
Merasa bahwa usahanya untuk melemahkan Mataram terhalangi, VOC lantas
mengangkat Pangeran Puger sebagai raja tandingan, bergelar Susuhan Paku Buwana
Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa atau
Sri Susuhan Pakubuwana I.
Setahun Kemudian, Pakubuwana I dikawal
gabungan pasukan VOC, Semarang, Madura dan Surabaya bergerak menyerang
Kartasura. Pasukan Kartasura yang ditugasi menghadang rombongan pasukan Pakubuwana I dipimpin oleh Arya
Mataram, yang tidak lain adalah adik Pakubuwana I sendiri. Arya Mataram
berhasil membujuk Amangkurat III untuk mengungsi, sedangkan dia sendiri
kemudian bergabung dengan Pakubuwana I.
Takhta Kartasura kemudian jatuh ke
tangan Pakubuwana I pada tanggal 17 September 1705. Amangkurat III ditangkap
dan ditahan dibawa ke Batavia untuk selanjutnya diasingkan ke Sri Lanka.
Amangkurat III akhirnya meninggal di negri itu pada tahun 1734.
Keadaan carut-marut dalam kerajaan
terus terjadi di tahun-tahun selanjutnya. Bahkan pengganti Pakubuwana I, Raden
Mas Prabasuyasa yang bergelar Pakubuwana II terlibat konflik dengan Mangkubumi
yang tak lain adalah adiknya sendiri. Ketegangan yang berlarut-larut akhirnya
menyulut perang saudara.
Kekacauan politik di keraton baru
dapat diselesaikan setelah pembagian wilaah Mataram menjadi dua, yaitu
Kesultanan Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan
Hamengku Buwono I, dan Kasunanan Surakarta dengan rajanya Pakubuwana III dengan
adanya Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. (Billicota,
2015)
Peninggalan
Bersejarah Kerajaan Mataram Islam di Kotagede
Sejumlah peninggalan bersejarah masih
terlihat jelas hingga kini. Salah satunya Watu Gilang yang berada di dekat
Makam Hastorenggo. Konon, batu ini digunakan untuk membenturkan kepala Ki Ageng
Mangir, sosok yang tidak mau mengakui Mataram namun akhirnya menjadi menantu
Senopati.
Panembahan Senopati menjebak Ki
Ageng Mangir dengan menggunakan Pembayun, putrinya yang menyamar sebagai penari
ledhek. Mangir pun jatuh cinta dan menikahi penari itu dan baru tahu setelahnya
bahwa dia putri Senopati. Mau tidak mau akhirnya Mangir pun menghadap
mertuanya.. Saat menghadap Panembahan Senopati itulah kepalanya dibenturkan
hingga mati. Separuh tubuhnya dimakamkan di dalam kompleks istana, sedangnya
lainnya di luar kompleks. Hal ini sebagai simbol keluarga atau menantu raja
sekaligus musuh karena memberontak.
Selain Watu Gilang, Pasar Kotagede
merupakan salah satu kawasan yang cukup menonjol di Kotagede. Pasar ini
merupakan pasar tertua di Yogyakarta. Keberadaan pasar ini telah ada sejak awal
mula berdirinya kerajaan Mataram Islam, Jauh sebelum Kasultanan Yogyakarta
berdiri dan masih menjadi pusat perdagangan masyarakat Kotagede hingga kini.
Pasar Kotagede dibangun pada masa Panembahan Senopati dan dikenal dengan nama
Pasar Gede atau Sargede yang merupakan pasar tradisional.
Tidak hanya pusat ekonomi masyarakat
berupa Pasar Kotagede, institusi yang dibangun juga berwujud lembaga keagamaan
yang hingga saat ini masih dapat dilihat dalam bentuk Masjid Agung Kotagede
yang terletak didalam komplek Kraton Kotagede. Kraton ini memiliki struktur
tata kota gabungan Hindu dan Islam. Bentuk bangunan dan gapura jelas terilihat
merupakan ciri Hindu. Tetapi seperti halnya Demak dan Pajang, masjid menjadi
bagian penting dari Kraton. (Sabandar, 2015) .
Penutup.
Kendati saat ini Kotagede sudah
bukan lagi sebagai Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam, namun seiring dengan
berjalannya waktu, Kotagede berkembang menjadi sebuah kota yang padat dengan
berbagai peninggalan Kerajaan Mataram yang hingga saat ini masih dapat kita
saksikan. Daerah hutan belantara yang dulunya dikenal sebagai “Alas Mentaok”,
berkembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Islam yang memiliki pengaruh
besar di Jawa. Dari sinilah Mataram mengalami perkembangan yang pesat hingga
masa kejayaannya, hingga akhirnya terpecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta karena perang saudara yang disebabkan adu domba VOC.
Daftar Pustaka:
Billicota, Y. (2015, Mei Jum'at). Sejarah
pecahnya Kesultanan Mataram jadi Yogyakarta dan Surakarta. Diambil
kembali dari Merdeka.com:
http://www.merdeka.com/peristiwa/sejarah-pecahnya-kesultanan-mataram-jadi-yogyakarta-dan-surakarta.html
Endrico. (2016). Kerajaan Mataram Islam.
Diambil kembali dari Academia.edu: www.academia.edu/9309756/KERAJAAN_MATARAM_ISLAM
Kotagede Yogyakarta Kota Sejarah. (2016). Diambil kembali dari
http://www.njogja.co.id/kota-yogyakarta/kotagede-yogyakarta/
Kotagede, Warisan Sejarah Kerajaan Mataram Kuno. (2012, September Rabu). Diambil kembali dari
Dusun Merap:
http://www.dusunmerapi.com/artikel-detil-40-Kotagede,-Warisan-Sejarah-Kerajaan-Mataram-Kuno.html
Sabandar, S. (2015, Mei Selasa). Sejarah 3
Kraton Mataram, Dri Bawah Beringin Kotagede Mataram Lahir. Diambil
kembali dari http://www.harianjogja.com/baca/2015/05/12/sejarah-3-kraton-mataram-dari-bawah-beringin-kotagede-mataram-lahir-603700