Rabu, 25 Mei 2016

Napak Tilas Kotagede, Kerajaan Mataram Islam Sebagai Cikal Bakal Kasultanan Yogyakarta.




            
Napak Tilas Kotagede, Kerajaan Mataram Islam
Sebagai Cikal Bakal Kasultanan Yogyakarta.

Yoga Arif Kurniawan
Hubungan Internasional Universitas Darussalam Gontor
drummermagnetic88@gmail.com

Bendera Kerajaan Mataram Islam

Abstrak
            Kraton Kotagede merupakan bagian Kerajaan Mataram Islam yang memiliki sejarah panjang dan pengaruh hingga berabad-abad kemudian. Bahkan keberadaannya masih melekat dalam kehidupan masyarakat Jogja masa kini. Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan Islam di Jawa. Munculnya Kasultanan Yogyakarta yang masih ada hingga saat ini merupakan kelanjutan Kerajaan Mataram Islam yang terpecah belah akibat perang saudara yang disebabkan adu domba VOC. Tindakannya yang selalu mencampuri urusan dalam kerajaan merupakan usaha VOC untuk melenyapkan Mataram yang dianggap sebagai penghalangnya dalam menguasai Jawa.
Pendahuluan
            Kotagede, adalah suatu kecamatan yang terletak di pinggiran Kota Yogyakarta yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bantul. Pada zaman dahulu, Kotagede merupakan Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam yang memiliki sejarah panjang dan pengaruh yang besar dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa.
            Pada abad ke 14, Pulau Jawa berada di bawah kepempinan kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya, yang memimpin Pajang pada saat itu memberikan hadiah berupa Alas (hutan) Mentaok, yang saat ini dikenal dengan Kotagede dengan area yangcukup luas kepada Ki Ageng Pemanahan. Hadiah ini diberikan setelah beliau berhasil menaklukkan musuh kerajaan. Selanjutnya, Ki Ageng Pemanahan dengan keluarga dan pengikutnya berpindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya adalah pusat Kerajaan Mataram Hindu pada masa - masa sebelumnya. Beliau membangun desa kecil di hutan tersebut. (Kotagede, Warisan Sejarah Kerajaan Mataram Kuno, 2012).


            Sebagai salah satu daerah terpenting di Yogyakarta, Kotagede merupakan kawasan bersejarah yang merupakan The Old Capital City, yang menyimpan sejarah mengenai lahirnya Mataram Islam sebagai kerajaan yang pernah berkuasa di tanah Jawa. (Kotagede Yogyakarta Kota Sejarah, 2016).
Asal Usul Berdirinya Kerajaan Mataram Islam
            Kemunculan Kerajaan Mataram Islam berawal dari tanah perdikan di Mentaok (Mataram) yang diberikan kepada Ki Ageng Pamanahan oleh Sultan Hadiwijoyo, Sultan Pajang. Tanah perdikan atau sima merupakan sebidang tanah yang diberikan kepada orang yang berjasa kepada raja yang berkuasa. Ketika itu Ki Ageng Pamanahan berhasil menumpas Arya Penangsang, yang sebelumnya membunuh Sunan Prawoto, penguasa terakhir Kerajaan Demak pada 1549. “Kerajaan Mataram Islam yang berlokasi di Kotagede muncul seiring dengan runtuhnya Kerajaan Pajang,” tutur Johannes Marbun, budayawan dari Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Madya).
            Panembahan Senopati atau Danang Sutawijaya, putra dari Ki Ageng Pamanahan, membangun peradaban di atas tanah perdikan seluas 200 hektare pada 1577. Dikisahkan, ketika tiba di kawasan ini yang dicari pertama oleh Ki Ageng Pemanahan adalah sebuah pohon beringin yang telah ditanam oleh Sunan Kalijaga. Akhirnya pohon itu ditemukan dan didirikanlah rumah di sebelah selatan beringin. Bangunan inilah yang kemudian dikembangkan hingga akhirnya menjadi Kraton Kotagede. (Sabandar, 2015)
            Pada tahun 1572, Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia. Ia digantkan oleh putranya, Danang Sutawijaya yang bergelar Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Disamping bertekad melanjutkan mimpi ayahnya untuk mengembangkan kerajaan Mataram Islam, ia pun bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan kerajaan Pajang. Keadaan ini membuat hubungan antara Mataram dengan Pajang memburuk yang pada akhirnya menimbulkan peperangan antara Sutawijaya dan kerajaan Pajang. Dalam peprangan ini Pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa pajak yakni Hadiwijaya meninggal (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Sejak saat itu ia mulai membangun kerajaannya dan menjadikan Kotagede sebagai pusat pemerintahan.


Masa Kejayaan Kerajaan Mataram Islam
            Puncak kejayaan Kerjaan Mataram Islam berada di masa kepemimpinan Sultan Agung dengan kemajuan yang dicapai dalam berbagai bidang antara lain:
A.     Bidang Politik
            Kemajuan di bidang politik yang dicapai Sultan Agung adalah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang Belanda di Batavia.
            Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam
Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usahanya dimulai dengan menguasai Gresik, Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang, Pasuruan, kemudian Surabaya. Salah satu taktik yang dilakukan oleh Sultan Agung untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa adalah dengan ikatan perkawinan.
            Usaha menyingkirkan Belanda
Sultan Agung adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia. Kedua penyerangan ini mengalami kegagalan, adapun penyebabnya antara lain:
1.      Jarak Kotagede/Mataram ke Batavia yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan prajurit Mataram. Mereka harus menempuh perjalanan selama satu bulan dengan berjalan kaki.
2.      Kekurangan dukungan logistik menyebabkan pertahanan Mataram di Batavia melemah.
3.      Kalah dalam persenjataan dengan Belanda yang jauh lebih modern.
4.      Pengkhianatan seorang pribumi yang membocorkan rahasia penyerangan Mataram sehingga rencana tersebut diketahui Belanda sebelumnya.
B.     Bidang Ekonomi.
            Sebagai kerajaan agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Di era kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengadakan pemindahan penduduk atau transmigrasi dari daerah kering ke daerah yang subur. Dengan usaha tersebut Mataram banyak mengekspor beras ke Malaka. Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam yang dilakukan oleh Sultan Agung tidak hanya menambah kekuatan politik, tetapi juga menambah kekuatan ekonomi. Dengan luasnya wilayah pesisir yang dimiliki Mataram tidak semata-mata hanya menggantungkan ekonomi dalam bidang agraris, tetapi juga dalam bidang maritim dan perdagangan.
C.     Bidang Sosial dan Budaya.
1.      Timbulnya kebudayaan kejawen
Unsur ini merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa dengan Islam. Misalnya upacara grebeg yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang. Kemudian, dilakukan do’a dengan cara Islam. Sampai kini, di Yogyakarta upacara adat semacam ini kita kenal dengan Grebeg Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya.
2.      Perhitungan Tarikh Jawa
Sultan Agung berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M, Mataram menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh syamsiah). Sejak tahun1633 M (1555 Hindu), tarikh Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan (tarikh komariyah). Caranya, tahun1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan baru berdasarkan tarikh komariyah. Tahun perhitungan Sultan Agung ini kemudian dikenal sebagai “Tahun Jawa”.
3.      Berkembangnya kesusastraan Jawa
Pada zaman kejayaan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat, termasuk didalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan.
            Pengaruh Mataram mulai memudar setelah wafatnya Sultan Agung pada tahun 1645 M. Selanjutnya, dimulailah masa-masa runtuhnya Kerajaan Mataram Islam yang tidak lain adalah sebagai hasil politik adu domba yang dilakukan Belanda dalam mencampuri urusan dalam kerajaan, sehingga kekuatan Mataram semakin melemah karena terpecah belah. (Endrico, 2016)
Pecahnya Mataram Islam menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta
            Menilik sejarah berdirinya Kesultanan Yogyakarta diawali dari perpecahan Kerajaan Mataram Islam yang terpecah menjadi dua kekuasaan, Yogyakarta dan Surakarta. Peristiwa ini terjadi saat kesultanan yang dipimpin oleh Amangkurat I yang bergelar Sri Susuhan Amangkurat Agung. Ketika itu, Kraton Mataram yang berada di Kotagede dipindahkan ke Plered (saat ini Pleret, Bantul) pada tahun 1647.
            Dalam menjalankan politik perdagangan, Amangkurat I menjalin hubungan dengan kongsi dagang Belanda atau VOC. Padahal VOC merupakan musuh utama Sultan Agung, ayah Amangkurat I. Pada tahun 1646 dia mengadakan perjanjian, antara lainVOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke wilayah lain yang dikuasai VOC. Kedua belah pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan.
            Semasa kepemimpinan Amangkurat I, terjadi banyak pemberontakan skala kecil maupun besar. Kondisi pemerintahan kurang stabil dan banyak yang tidak puas dengan kebijakan raja. Puncaknya adalah ketika Raden Trunojoyo dari Madura mengadakan pemberotakan besar-besaran untuk menggulingkan kekuasaan Amangkurat. Pemberontakan ini juga disokong oleh putra mahkota Raden Mas Rahmat yang bergelar Pangeran Adipati Anom, dan dukungan dari beberapa pihak lainnya.
            Pemberontakan ini berhasil dan Amangkurat I bersembunyi di Tegalarum. Babat Tanah Jawi menuturkan bahwa dalam pelarian inilah Amangkurat I meninggal dunia. Kematiannya dipercepat dengan racun Adipati Anom. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dia menunjuk putra mahkota sebagai penerusnya dan berwasiat untuk menumpas Trunojoyo.
            Sesuai wasiat ayahnya, Adipati Anom bekerja sama dengan VOC untuk menumpas Trunojoyo. Dia menandatangani Perjanjian Jepara tahun 1677 dengan VOC, yang berisi VOC akan membantu Adipati Anom melawan Trunojoyo. Sebagai gantinya, kongsi dagang tersebut berhak memonopoli perdagangan di pantai utara Jawa. Kepatuhan Amangkurat II pada VOC menyebabkan ketidak puasan kalangan istana, sehingga pemberontakan terus menerus terjadi.
            Pengganti Amangkurat II, Sri Susuhan Amangkurat Mas yang bergelar Amangkurat III dikenal sebagai penentang VOC. Merasa bahwa usahanya untuk melemahkan Mataram terhalangi, VOC lantas mengangkat Pangeran Puger sebagai raja tandingan, bergelar Susuhan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa atau Sri Susuhan Pakubuwana I.
             Setahun Kemudian, Pakubuwana I dikawal gabungan pasukan VOC, Semarang, Madura dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura. Pasukan Kartasura yang ditugasi menghadang rombongan  pasukan Pakubuwana I dipimpin oleh Arya Mataram, yang tidak lain adalah adik Pakubuwana I sendiri. Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III untuk mengungsi, sedangkan dia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I.
            Takhta Kartasura kemudian jatuh ke tangan Pakubuwana I pada tanggal 17 September 1705. Amangkurat III ditangkap dan ditahan dibawa ke Batavia untuk selanjutnya diasingkan ke Sri Lanka. Amangkurat III akhirnya meninggal di negri itu pada tahun 1734.
            Keadaan carut-marut dalam kerajaan terus terjadi di tahun-tahun selanjutnya. Bahkan pengganti Pakubuwana I, Raden Mas Prabasuyasa yang bergelar Pakubuwana II terlibat konflik dengan Mangkubumi yang tak lain adalah adiknya sendiri. Ketegangan yang berlarut-larut akhirnya menyulut perang saudara.
            Kekacauan politik di keraton baru dapat diselesaikan setelah pembagian wilaah Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I, dan Kasunanan Surakarta dengan rajanya Pakubuwana III dengan adanya Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. (Billicota, 2015)
Peninggalan Bersejarah Kerajaan Mataram Islam di Kotagede
            Sejumlah peninggalan bersejarah masih terlihat jelas hingga kini. Salah satunya Watu Gilang yang berada di dekat Makam Hastorenggo. Konon, batu ini digunakan untuk membenturkan kepala Ki Ageng Mangir, sosok yang tidak mau mengakui Mataram namun akhirnya menjadi menantu Senopati.
            Panembahan Senopati menjebak Ki Ageng Mangir dengan menggunakan Pembayun, putrinya yang menyamar sebagai penari ledhek. Mangir pun jatuh cinta dan menikahi penari itu dan baru tahu setelahnya bahwa dia putri Senopati. Mau tidak mau akhirnya Mangir pun menghadap mertuanya.. Saat menghadap Panembahan Senopati itulah kepalanya dibenturkan hingga mati. Separuh tubuhnya dimakamkan di dalam kompleks istana, sedangnya lainnya di luar kompleks. Hal ini sebagai simbol keluarga atau menantu raja sekaligus musuh karena memberontak.
            Selain Watu Gilang, Pasar Kotagede merupakan salah satu kawasan yang cukup menonjol di Kotagede. Pasar ini merupakan pasar tertua di Yogyakarta. Keberadaan pasar ini telah ada sejak awal mula berdirinya kerajaan Mataram Islam, Jauh sebelum Kasultanan Yogyakarta berdiri dan masih menjadi pusat perdagangan masyarakat Kotagede hingga kini. Pasar Kotagede dibangun pada masa Panembahan Senopati dan dikenal dengan nama Pasar Gede atau Sargede yang merupakan pasar tradisional.
            Tidak hanya pusat ekonomi masyarakat berupa Pasar Kotagede, institusi yang dibangun juga berwujud lembaga keagamaan yang hingga saat ini masih dapat dilihat dalam bentuk Masjid Agung Kotagede yang terletak didalam komplek Kraton Kotagede. Kraton ini memiliki struktur tata kota gabungan Hindu dan Islam. Bentuk bangunan dan gapura jelas terilihat merupakan ciri Hindu. Tetapi seperti halnya Demak dan Pajang, masjid menjadi bagian penting dari Kraton. (Sabandar, 2015).
Penutup.
            Kendati saat ini Kotagede sudah bukan lagi sebagai Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam, namun seiring dengan berjalannya waktu, Kotagede berkembang menjadi sebuah kota yang padat dengan berbagai peninggalan Kerajaan Mataram yang hingga saat ini masih dapat kita saksikan. Daerah hutan belantara yang dulunya dikenal sebagai “Alas Mentaok”, berkembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Islam yang memiliki pengaruh besar di Jawa. Dari sinilah Mataram mengalami perkembangan yang pesat hingga masa kejayaannya, hingga akhirnya terpecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta karena perang saudara yang disebabkan adu domba VOC.















Daftar Pustaka:

Billicota, Y. (2015, Mei Jum'at). Sejarah pecahnya Kesultanan Mataram jadi Yogyakarta dan Surakarta. Diambil kembali dari Merdeka.com: http://www.merdeka.com/peristiwa/sejarah-pecahnya-kesultanan-mataram-jadi-yogyakarta-dan-surakarta.html
Endrico. (2016). Kerajaan Mataram Islam. Diambil kembali dari Academia.edu: www.academia.edu/9309756/KERAJAAN_MATARAM_ISLAM
Kotagede Yogyakarta Kota Sejarah. (2016). Diambil kembali dari http://www.njogja.co.id/kota-yogyakarta/kotagede-yogyakarta/
Kotagede, Warisan Sejarah Kerajaan Mataram Kuno. (2012, September Rabu). Diambil kembali dari Dusun Merap: http://www.dusunmerapi.com/artikel-detil-40-Kotagede,-Warisan-Sejarah-Kerajaan-Mataram-Kuno.html
Sabandar, S. (2015, Mei Selasa). Sejarah 3 Kraton Mataram, Dri Bawah Beringin Kotagede Mataram Lahir. Diambil kembali dari http://www.harianjogja.com/baca/2015/05/12/sejarah-3-kraton-mataram-dari-bawah-beringin-kotagede-mataram-lahir-603700